Jumat, 04 Januari 2013

Perkembangan Cybercrime di Indonesia


Menurut pakar Telekomunikasi Media dan Informatika ( TELEMATIKA ) Indonesia, RM Roy Suryo dalam warta Ekonomi No.9,5 Maret 2001, kasus – kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada 3 jenis berdasarkan modusnya, yaitu :
a.       Pencurian nomor kredit, menurut Rommy Alkatiry ( Wakil Kabid Informatika KADIN ), penyelahgunaan kartu kredit milik orang lain di Internet merupakan  kasus cybercrime terbesar yang berkaitan  dengan dunia bisnis Internet di Indonesia. Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan  secara fisik atau online. Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di berbagai tempat ( restoran, hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran dengan  kartu kredit ) dimasukkan  di aplikasi pembelian barang di Internet.
b.      Memasuki, memodifikasi, atau merusak homepage ( hacking ). Menurut John S. Tumiwa pada umumnya  tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk  ke suatu situs computer orang lain yang ternyata  rentan penyusupan  dan memberitahukan  kepada pemiliknya  untuk berhati – hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem perbankan  dan merusak database bank.
c.       Penyerapan  situs email atau email melalui virus atau spamming. Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus melalui email. Di luar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman  yang cukup berat, berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi karena peraturan yang ada masih sulit menjangkaunya.
Sementara itu As’ad Yusuf memerinci kasus – kasus cybercrime yang sering terjadi di Indonesia menjadi 5, yaitu :
*      Pencurian nomor kartu kredit
*      Pengambilan situs Web milik orang lain
*      Pencurian akses Internet yang sering dialami oleh ISP
*      Kejahatan nama domain
*      Persaingan bisnis dengan menimbulkan gangguan bagi situs saingannya
Di Indonesia pada Janurii 2000, beberapa situs di Indonesia diacak – acak oleh cracker yang menamakan dirinya “ Fabian Clone “ dan “ naisedoni “ ( “ Indonesia “ dibaca dari belakang ). Situs yang diserang termasuk Bursa Efek Jakarta, BCA, Indosatnet. Selain situs yang besar tersebut masih banyak situs lainnya  yang tidak dilaporkan  pada tahun yang sama seorang cracker Indonesia tertangkap di Singapura  ketika mencoba menjebol sebuah perusahaan di Singapura. September dan Oktober 2000, setelah berhasil membobol bank Lippo, kembali Fabian Clone beraksi dengan menjebol Web milik bank Bali. Perlu diketahui bahwa kedua bank ini memberikan layanan perbakan internet ( Internet Banking ).
Bulan September 2000, polisi mendapat banyak laporan dari luar negeri tentang adanya  pengguna Indonesia yang mencoba menipu pengguna lain pada situs Web yang menyediakan  transaksi lelang ( auction ) seperti eBay. Kemudian pada tanggal 24 Oktober 2000, dua warung Internet ( warnet ) di Bandung digerebak oleh Polisi dikarenakan mereka menggunakan account dialup curian dari ISP Centrin. Salah satu dari warnet tersebut sedang online dengan menggunakan account curian tersebut. Juni 2001 Seorang pengguna Internet Indonesia membuat beberapa situs yang mirip dengan situs klikbca.com, yang digunakan  oleh BCA untuk memberikan  layanan perbankan Internet. Situs yang dibuat menggunakan nama domain yang mirip dengan klikbca.com, dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Perusahaan MarkPlus Co telah melakukan survey yang kemudian dimuat pada majalah Swa Sembada ( edisi No.11/XVI/30 Mei – 12 Juni 2001 ) data dijadikan rujukan. Survey itu sendiri dilakukan pada 22 Maret 2000 hingga 5 April 2000 dengan mengambil responden sebanyak 1100 orang dari 5 kota Utama di Indonesia, yaitu Jabodetabek 250 orang, Bandung 200 orang, Yogyakarta 150 orang, Surabaya 200 orang, dan Medan 100 orang. Dari data – data yang dikumpulkan  dari para responden tersebut, tergambarkan bahwa 14,2 % responden mulai menggunakan Internet kurang dari 6 bulan yang lalu, 25,9% antara 6 – 12 bulan yang lalu, 31,3% antara 1 – 2 tahun yang lalu, 13,7% antara 2 – 3 tahun yang lalu, 8,4% antara  3- 4 tahun yang lalu dan 6,6% merupakan pengguna yang telah menggunakan  Internet lebih dari  4 tahun yang lalu. Hal yang perlu digarisbawahi pada hasil survey tersebut adalah 90,1% tidak pernah merasa tidak aman / beresiko tinggi ( 13,6 % ). Ini berarti lebih drai 25% dari  1100 responden enggan bertransaksi e – commerce karena kuatir dengan faktor keamanan bertransaksi melalui Internet.
Dampak kejahatan kartu kredit yang dilakukan lewat transaksi online, oleh carder orang Indonesia, membuat beberapa merchant online di AS dan Australia sudah memasukkan  Indonesia ke dalam daftar hitam mereka. bahkan ada dugaan kuat, FBI tengah menjadikan beberapa kota di Indonesia sebagai sasaran pengawasan langsung. Hal ini terjadi karena carder, ada yang menyejajarkannya dengan hacker dan cracker, merugikan beberapa pihak asing, seperti yang terjadi di Yogyakarta. Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menangkap lima carder dan mengamankan barang bukti bernilai puluhan juta, yang didapat dri merchant luar negeri.
Riset juga pernah dilakukan  oleh perusahaan sekuritas ClearCommerce ( Clearcommerce.com ) yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat. Menurut data riset  tersebut, 20% dari total transaksi kartu kredit dari Indonesia  di Internet adalah fraud ( bohong ). Tidak heran  jika kondisi itu semakin memperparah sector bisnis  di dalam negeri, khususnya yang memanfaatkan teknologi Informasi. Berdasarkan hasil survey CasteAsia ( CastleAsia.com ) yang dilansir pda bulan Januari 2002, ditunjukkan  bahwa hanya 15% responden  Usaha Kecil dan Menengah ( UKM ) di Indonesia yang bersedia menggunakan perbankan Internet. Dari 85% sisanya, setengahnya beralasan khawatir dengan keamanan transaksi di Internet.
Berita Kompar Cyber Media ( 19/3/2002 ) menulis bahwa berdasarkan survey AC Nielsen 2001 Indonesia ternyata menempati posisi keenam terbesar di Dunia atau keempat di Asia dalam tindak  kejahatan di Internet. Meski tidak disebutkan  secara rinci kejahatan  macam apa saja yang terjadi di Indonesia maupun WNI yang terlibat dalam kejahatan tersebut, hal ini merupakan  peringatan bagi semua pihak untuk mewaspadai kejahatan yang telah, sedang, dan akan muncul dari pengguna teknologi informasi ( Heru Sutadi, Kompas, 12 April 2002 ).
Pada tahun 2004, menurut catatan Vaksincom, tren serangan virus didominasi virus yang bernama MyDoom, Netsky dan Beagle. Pada server pemantau serangan  virus, serangan virus kuartal II  ( April, Mei, dan Juni 2004 ) tercatat ada 70.714 serangan Netsky dan 1.350 serangan Beagle. Sedangkan kuartal III, Juli, Agustus sampai dengan  4 September 2004 tercatat  ada 30.918 serangan Netsky dan 1.850 serangan Beagle. Worm ini menyerang ke computer kita dalam bentuk email yang berisi sebuah Attachment dengan nama yang bermacam – macam ( acak ) yang berekstensi ZIP, BAT, CMD, EXE atau SCR. Mungkin mailbox kita akan  penuh dengan email yang diterima, dan parahnya kalau kita  tidak memakai antivirus yang memeriksa setiap email yang masuk bersama attachment- nya, maka kemungkinan besar virus – virus tersebut akan masuk dengan bebas ke dalam  computer kita. Setelah itu mereka akan memeriksa setiap file yang mengandung alamat email seperti *.DBX, *.HTML. setelah itu ia akan mengirimkan  ke semua alamat email yang kita temukan. Hebatnya virus ini akan bekerja  seperti dengan virus klez. Jadi kalau kita menerima email dari seseorang yang kita tidak kenal kemungkinan email itu mengandung virus.
Tahun 2004 di Indonesia  juga dihebohkan  jebolnya computer  server Komisi Pemilihan Umum yang dibobol oleh spyware berasal dari  Indonesia  bernama Dani Firmansyah, yang akhirnya, mengacaukan sistem yang ada di KPU. Mulanya  ia mengetes sistem  sistem keamanan server www.tnp.kpu.go.id  melalui Cross Site Scripting ( XSS ) dan SQL Injection di gedung PT Danareksa Jln. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat pada 17 April 2004. Usahanya sukses, selanjutnya  ia berbuat  iseng dengan mengubah nama – nama  partai dengan istilah – istilah yang lucu. Seperti Partai Kolor Ijo, Partai Jambu, Partai Nanas, dan lain – lain.
Dari sebagian data tersebut terlihat bahwa tingginya angka cybercrime di Indonesia akan berpengaruh secara langsung pada sector bisnis skala kecil, menengah dan besar. Pengaruh dunia dan komunitas bisnis secara umum.

Kerangka Hukum yang Mengatur Cybercrime di Indonesia
Dilihat dari kejadian – kejadian  kriminalitas Internet dan begitu  berkembangnya pemakaian atau pemanfaatan  di Indonesia maupun di dunia internasional, sudah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan cyber law sebagai prioritas  utama. Internet sekarang sudah  menjadi bagian penting dalam berbagai sector bisnis, pemerintahan, pendidikan, entertainment, dan pelayanan yang telah data dilakukan secara online maka kebutuhan akan adanya cyberlaw tidak data ditunda lagi. Jelasnya, urgensi  cyberlaw bagi Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk mengarahkan transaksi – transaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan standar etika dan hukum yang disepakati dan keharusan untuk meletakkan  dasar legal dan cultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam masyarakat informasi.
Pemerintah Indonesia baru saja mengatur masalah HaKI ( Hak atas Kekayaan Intelektual ), Undang – Undang  Nomor 19 Tahun 2002. Namun  undang – undangtersebut berfokus  pada persoalan perlindungan  kekayaan intelektual saja. Ini terkait dengan  persoalan  tingginya kasus pembajakan  software di negeri ini. Kehadiran undang – undang tersebut tentu tidak lepas dari desakan Negara – Negara  di mana produsen software  itu berasal. Begitu juga  dengan dikeluarkannya undang – undang hak paten yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 14 Tahun  2001, yang mengatur hak eksklusif yang diberikan  oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Terlepas dai masalah itu, sebenarnya kehadiran cyberlaw yang langsung memfasilitasi e – commerce, e – government, dan cybercrime sudah sangat diperlukan. Menurut Yappi Manafe, Asisten Deputi Urusan  Perundangan  Telematika pada Kementerian Komunikasi dan Informasi, ketiga materi tersebut dicakup dalam RUU Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ). Pengakomodasian ketiga materi tersebut dirasakan  sudah sangat mendesak mengingat persoalan ketiganya memang sudah muncul dalam kehidupan secara nyata.
Dalam RUU Pemanfaatan  teknologi kegiatan  yang diatur meliputi :
*      Perdagangan elektronik ( e – commerce )
*      Perbankan elektronik ( e – banking )
*      Pemerintahan  elektronik ( e – government )
*      Pelayanan  kesehatan elektronik ( e – hospital )
*      Pemberian nama  domain  ( Domain Name Servises – DNS )
Dalam RUU pemnafaatan  teknologi informasi di Indonesia telah dibahas berbagai aturan pemanfaatan teknologi informasi atau Internet di berbagai sector atau bidang. Aturan ini dibuat karena kemunculan  sejumlah kasus yang cukup fenomenal di dunia Internet yang telah mendorong dan mengukuhkan Internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama ( mainstream ) budaya dunia saat ini. Ekstensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia lebih ditegaskan  lagi dengan maraknya perniagaan elektronik ( e – commerce ) yang diprediksikan sebagai “ bisnis besar masa depan “ ( the next big thing ). E – commerce ini bukan saja telah menjadi mainstream budaya Negara – Negara maju tetapi juga telah menjadi model transaksi termasuk Indonesia.
Munculnya kejahatan internet pada awalnya banyak terjadi pro – kontra terhadap penerapan hokum yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan saat itu sulit untuk menjerat secara hukum para pelakunya karena beberapa alasan. Alas an yang menjadi kendala  seperti sifat kejahatannyabersifat maya, lintas Negara, dan sulitnya menemukan pembuktian. Hukum yang saat itu yaitu hukum tradisional banyak memunculkan  pro – kontra, karena harus menjawab pertanyaan bisa atau tidaknya sistem  hukum tradisional mengatur mengenai aktivitas – aktivitas yang dilakukan di Internet. Karena aktivitas di Internet memiliki karakteristik; pertama, karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas batas, sehingga tidak lagi tunduk pada batasan – batasan territorial. Kedua, sistem hukum tradisional ( the existing law ) yang justru bertumpu pada batasan – batasan  territorial  dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan – persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet.
Untuk menyelesaikannya, terdapat 3 alternatif pendekatan dalam penyediaan perundang – undangan yang mengatur masalah kriminalitas teknologi informasi, antara lain :
1.       Dibuat suatu undang – undang khusus yang mengetur masalah tindak pidana dibidang teknologi informasi. Undang – undang ini bersifat lex specialist yang khusus mengatur masalah pidana pelanggaran pemanfaatan teknologi informasi, baik kejahatan jenis baru yang muncul setelah adanay Internet dan menjadikan teknologi informasi sebagai sasaran kejahatan.
2.      Memasukkan materi kejahatan teknologi informasi kejahatan teknologi informasi  ke dalam amandemen KUHP yang saat ini sedang digodok oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM. Sebagaimana diketahui KUHP belum mencakup jenis – jenis kejahatan teknologi informasi, khususnya yang muncul setelah adanya Internet.
3.      Melakukan amandemen terhadap semua undang – undang yang diperkirakan akan  berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi, seperti misalnya undang – undang perpajakan, perbankan, dll. Amandemen terhadap berbagai undang – undang ini untuk menyelesaikan kemungkinan adanya pelanggaran  terhadap klausa yang tergolong pidana dalam undang – undang tersebut dilakukan menggunakan teknologi informasi.
Mengingat perhatian pemerintah masih terpusat pada pembuatan Undang – undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ) yang juga penting karena merupakan salah satu perangkat hukum yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi ( cyberlaw ), dan pentingnya Negara Republik Indonesia segera memiliki Undang – undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi ( TIPITI ), maka kajian dan usulan yang dibuat oleh GIPI beserta komunitas telematika Indonesia ini diharapkan data menjadi inisiatif DPR. Sehingga  dengan demikian keduanya ( UU ITE dan UU TIPITI ) akan saling melengkapi dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pengguna teknologi informasi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar