Rabu, 12 Desember 2012

perbedaan kurikulum indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan di Negara kita ini sangatlah memprihatinkan jika dibandingkan dengan Negara – Negara lain seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang , Taiwan, India, Cina, dan Malaysia ataupun Negara – negraa lain yang sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat pada bidang pendidikan. Pada satu sisi, betapa dunia pendidikan di Indonesia saat ini dirundung masalah yang besar, sedangkan pada sisi lain tantangan memasuki millennium ketiga tidak bisa dianggap main – main. Sedangkan tantangan yang dihadapi agar tetap “ hidup “ memasuki millennium ketiga adalah perlunya diupayakan :
1.      Pendidikan yang tanggap terhadap situasipersaingan dan kerjasama global.
2.      Pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup.
3.      Pendidikan yang menyadari sekaligus mengupayakan pentingnya pendidikan nilai.
Mantan Menteri Pendidikan Nasional ( Mendiknas ) Abdul Malik Fajar mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia sangatlah buruk di kawasan Asia. Dengan kondisi pemerintah sekarang yang masih harus menganggung beban krisis yang begitu berat, rasanya tidaklah tepat apabila kita menunggu kebijakan dari pemerintah pusat untuk membenahi kondisi pendidikan kita. Sehingga semua pihak yang bertanggung jawab atas kondisi dan sistem pendidikan yang ada di Negara kita hendaknya ikut memikirkan bagaimana caranya agar pendidikan di Indonesia data mengalami kemajuan seperti Negara – Negara lain.
Setiap bangsa tentu memiliki sistem pendidikan. Dengan sistem pendidikan itu, suatu bangsa mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap, agama dan ciri – ciri watak khusus yang dimilikinya dengan cara tertentu kepada generasi penerusnya, agar mereka dapat  mewariskannya dengan sebaik – baiknya. Melalui sistem pendidikan itu, suatu bangsa data memelihara dan mempertahankan nilai – nilai luhur, serta keunggulan – keunggulan mereka dari generasi ke generasi. Sejalan dengan tumbuhnya perkembangan yang pesat dari ilmu – ilmu sosial pada akhir abad 19, tertuju perhatian pada pengakuan adanya hubungan yang dinamis antara pendidikan dengan masyarakat atau Negara tertentu. Pendidikan dipandang sebagai cerminan dari suatu masyarakat atau bangsa, dan sebaliknya suatu masyarakat atau bangsa dibentuk oleh sistem pendidikannya. Pendidikan komparatif membahas perbandingan secara ilmiah, dan mempunyai tujuan untuk melihat  persamaan dan perbedaan, kerja sama, pertukaran pelajar antar bangsa dalam memciptakan perdamaian dunia. Pendapat tersebut sebagai usaha menanamkan dan menumbuh kembangkan rasa saling pengertian dan kerja sama antar bangsa, demi terpeliharanya perdamaian dunia, melalui proses pendidikan. Pendidikan komparatif juga diperlukan, untuk melihat kemajuan, kualitas pendidikan di Negara maju dibandingkan dengan Negara berkembang.
Dengan kondisi pemerintah sekarang yang masih harus menanggung beban krisis yang begitu berat, rasanya tidaklah tepat apabila kita menunggu kebijakan dari pemerintah pusat untuk membenahi kondisi pendidikan kita. Sehingga semua pihak yang bertanggung jawab atas kondisi dan sistem pendidikan yang ada di negara kita hendaknya ikut memikirkan bagaimana caranya agar pendidikan di Indonesia dapat mengalami kemajuan seperti negara-negara lain.
Berdasarkan uraian diatas alangkah berdosanya kalau kita sebagai generasi bangsa tidak ikut bertanggung jawab atas sistem pendidikan di negara kita tercinta ini. Di samping itu kita akan melihat kurikulum pendidikan di Indonesia yang sudah beberapa tahun ini mengalami reformasi kurikulum yaitu dari kurikulum tahun 1947,1968,1975, 1984, 1994, 2004 dan KTSP 2006 hingga sekarang.
Dalam pembahasan nanti kita akan melihat gambaran dan karakteristik dari masing-masing kurikulum tersebut, sehingga kita akan mengetahui kelemahan ataupun kelebihan dari masing-masing kurikulum tersebut.
Bila kurikulumnya di desain dengan sistematis dan komprehensif serta integral dengan segala kebutuhan pengembangan dan pembelajaran anak didik, tentu out put pendidikan akan mampu mewujudkan harapan. Tetapi bila tidak, kegagalan demi kegagalan akan terus menghantui dunia pendidikan.




1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian dari Kurikulum ?
  1. Menjelaskan Gambaran dan ciri kurikulum yang pernah digunakan di Indonesia !

1.3 Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas, dapat diambil beberapa tujuan penulisan antara lain :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Kurikulum.
2.      Untuk memberikan kejelasan tentang gambaran dan ciri kurikulum yang pernah digunakan di Indonesia.

1.4 Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini, penulis membatasi permasalahan yang akan di bahas pada makalah ini meliputi pembahasan pengertian Kurikulum dan Gambaran dan ciri Kurikulum yang pernah digunakan di Indonesia.















BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, yang mana didalamnya mencakup beberapa hal diantaranya adalah: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang. Seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi (Sudrajat, 2009). Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti politikus, pengusaha, orangtua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum.
Kurikulum yang ada pada pendidikan sekolah menurut Hamzah (2008) mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada materialitas. Stagnasi terlihat dari adopsi dan replikasi kurikulum pendidikan sekolah. Nuansa hegemoni pada dunia pendidikan sekolah terasa mengental, bahkan menuju ke arah status quo kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan tetapi sekolah tidak melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi kurikulum yang berkelanjutan.
Lebih lanjut Hamzah (2008) berpendapat kenyamanan karena adanya hegemoni tersebut membuat pola pikir dan arah nalar para pendidik dan peserta didik terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan bukannya pendidikan yang membebaskan. Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku, dan tindakan kritis pada kurikulum pendidikan sekolah perlu dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi kurikulum yang digunakan oleh sekolah.
Kestatisan pada kurikulum pendidikan sekolah terlihat dari tidak adanya kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau terdapat kreativitas, itu pun mengarah pada materialitas yang selama ini sudah didoktrinkan oleh beberapa pendidik kepada peserta didik. Ketiadaan kreativitas ini terbelenggu dengan adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu pada hal-hal yang bernuansa ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi, imajinasi, dan inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang diinternalisasi pada kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya kurang begitu diperhatikan.
Adanya pemasungan kreativitas pada kurikulum tersebut mengakibatkan terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan imajinasi sekaligus menumpulkan intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah. Keterjebakan kurikulum pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis menurut Hamzah (2008) menjadi dilematis dengan mengarahkannya kepada materialitas. Nilai mentalitas, seperti kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih belum nampak di dalam kurikulum pendidikan sekolah.
Hal ini dipertegas oleh Topatimasang dan Fakih (2007) yang menyatakan kurikulum pendidikan sekolah cenderung menafikan nilai mentalitas, tetapi mengutamakan nilai materialitas. Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai materialitas dan mentalitas berjalan berat sebelah. Strategi balanced scorecard yang diajarkan pada intinya dimuarakan pada kepentingan materialitas bukan pada keseimbangan antara materialitas dan mentalitas. Hal ini dapat mengakibatkan keluaran dari pendidikan sekolah adalah insan-insan yang materilitas dan distigma.
Oleh karena itu strategi pembelajaran pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas (Agger, 2006). Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar selama ini.
Konsep reproductive view of learning yang selama ini dihasilkan hanya menghasilkan keluaran yang bersifat mengikut saja tanpa mampu bersikap kritis, kreatif, dan mempunyai nilai-nilai mental. Ini berbeda dengan konsep constructive view of learning yang berpegang pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar dihasilkan mutu pendidikan tinggi akuntansi yang berkualitas, maka anak didik diinternalisasi dengan sikap kritis. Salah satu diantaranya adalah dengan paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak awal pengetahuan yang membelenggu, serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang.

  1. Gambaran dan ciri kurikulum yang pernah digunakan di indonesia
Dunia pendidikan di Indonesia sudah berkali-kali melakukan perubahan kurikulum hal ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan system pendidikan di Indonesia yang dinilai sangat buruk dikawasan asia. Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia meliputi:
1)      Kurikulum 1947
Kurikulum yang pertama kali diberlakukan di sekolah Indonesia pada awal kemerdekaan ialah kurikulum 1947 yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan bangsa Indonesia. Penerbitan UU No. 4 tahun 1950 merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang pendidikan. Sekolah mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini ciri-ciri Kurikulum 1947 :
  1. sifat kurikulum Separated Subject Curriculum (1946-1947),
  2. menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah,
  3. jumlah mata pelajaran : Sekolah Rakyat (SR) – 16 bidang studi, SMP-17 bidang studi dan SMA jurusan B-19 bidang studi

2)      Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan peng-organisasian materi pelajaran dengan pengelompokan suatu pelajaran yang berbeda, yang dilakukan secara korelasional (correlated subject curriculum), yaitu mata pelajaran yang satu dikorelasikan dengan mata pelajaran yang lain, walaupun batas demokrasi antar mata pelajaran masih terlihat jelas. Muatan materi masing-masing mata pelajaran masih bersifat teoritis dan belum terikat erat dengan keadaan nyata dalam lingkungan sekitar. Pengorganisasian mata pelajaran secara korelasional itu berangsur-angsur mengarah kepada pendekatan pelajaran yang sudah terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu pada sekolah-sekolah yang lebih tinggi.
Berikut ciri-ciri kurikulum 1968 :
  1. sifat kurikulum correlated subject,
  2. jumlah mata pelajaran SD-10 bidang studi, SMP-18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan atas Bahasa Indonesia I dan II), SMA jurusan A-18 bidang studi,
  3. penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu Sastra Sosial Budaya dan Ilmu Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL).

3)      Kurikulum 1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang studi dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan diberikan tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai satuan bahasan yang memiliki tujuan instruksional khusus. Dalam proses pembelajaran, guru harus berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat dicapai oleh peserta didik, setelah mata pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan oleh guru. Metode penyampaian satun bahasa ini disebut prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang berupa rencana pelajaran setiap satuan bahasan.
Ciri-ciri kurikulum 1975:
  1. Berorientasi pada tujuan
  2. Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
  3. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
  4. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
  5. Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

4)      Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Asumsi yang mendasari penyempurnaan kurikulum 1975 ini adalah bahwa kurikulum merupakan wadah atau tempat proses belajar mengajar berlangsung yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat..
Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Berorientasi kepada tujuan instruksional.
  2. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
  3. Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
  4. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
  5. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.
  6. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

5)      Kurikulum 1994
Dengan mendasarkan kepada seluruh proses penyusunan kurikulum pada ketentuan-ketentuan yuridis dan akademis di atas, maka diharapkan kurikulum 1994 telah mampu menjembatani semua kesenjangan yang terdapat dalam dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu sepertinya tidak terwujud sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan gencarnya keluhan pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan kekurangan kurikulum 1994. Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut :
  1. Sifat kurikulum objective based curriculum,
  2. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan
  3. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)
  4. Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia.
  5. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial
  6. Nama SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama),dan SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum)
  7. Penjurusan di SMU dilakukan di kelas II, f) penjurusan dibagi atas tiga jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa,
  8. SMK memperkenalkan program pendidikan sistem ganda (PSG)
Aspek yang dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah terlalu padat, sehingga sangat membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya semangat belajar siswa, sehingga mutu pendidikan pun semakin terpuruk. Akibatnya adalah siswa enggan belajar lama di sekolah. Jika sejak awal siswa dicemaskan dengan mata pelajaran yang menjadi momok di sekolah, maka mereka akan menjadi bosan dan kegiatan belajar mengajar menjadi menyebalkan.
Selain itu, penetapan target kurikulum 1994 dinilai dan dikecam berbagai pihak antara lain sebagai dosa teramat besar dari departemen pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas pendidikan secara berkesinambungan tanpa henti , bahwa adanya target kurikulum telah menjadi salah satu factor pemicu untuk penggantian kurikulum baru. Kurikulum 1994 yang padat dengan beban yang telah menghambat diberlakukannya paradigma baru pendidikan dari siswa kepada guru, yang menuntut banyak waktu untuk menyampaikan pandangan dalam rangka pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang padat juga melanggengkan konsep pengajaran satu arah, dari guru murid, karena apabila murid diberikan kebebasan mengajukan pendapat, maka diperlukan banyak waktu, sehingga target kurikulum sulit untuk tercapai.

6)      Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK )
Harapan masyarakat terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia, pada hakikatnya adalah adanya komunikasi dua arah yang memungkinkan kegiatan belajar mengajar menjadi interaktif dan menyenangkan, baik bagi siswa maupun bagi guru. Belajar menyenangkan itulah sebenarnya konsep pendidikan yang dapat membawa peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi akademik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah yang seharusnya diakomodasi di dalam penyusunan kurikulum.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya berlaku sampai tahun 2006 di sekolah-sekolah pada dasarnya adalah merupakan gagasan dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar (KBKD) yang memfokuskan pada wujud pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Berhubung kurikulum 2004 yang memfokuskan aspek kompetensi siswa, maka prinsip pembelajaran adalah berpusat pada siswa dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan kemitraan, serta mengutamakan proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang peranan penting adalah guru. Guru diibaratkan manusia dibalik senjata kosong yang tidak berpeluru. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata itu dan membidiknya dengan cermat dan tepat mengenai sasaran. Keberhasilan kurikulum lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kompetensi guru. Oleh karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai “Potret Pendidikan di Indonesia dan Peran Guru Swasta”, J. Drost (2002) menegaskan bahwa materi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas.
Inti dari KBK adalah terletak pada empat aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4) evaluasi dengan penilaian berbasis kelas.
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar dan indikator dari TK (Taman Kanak-kanak) dan Raudhatul Athfal (RA) sampai dengan kelas XII (kelas III SMA). Penilaian berbasis kelas memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai, serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum, antara lain silabus, pembinaan professional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diberikan kepada sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, Dinas Pendidikan Provinsi dan Tingkat Pusat. Peran dan tanggung jawab sekolah untuk meningkatkan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan konsep KBK, menetapkan tahap dan administrasi KBK, menata ulang KBK penempatan guru pada kelas secara optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana sekolah, termasuk dalam melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk pelaksanaan kurikulum secara bermutu.



7)      KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan yang berlaku dewasa ini di Indonesia. KTSP diberlakukan mulai tahun ajaran 2006/2007 yang menggantikan kurikulum 2004 (KBK). Kurikulum ini lahir seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Salah satu perbedaan KTSP dibandingkan dengan kurikulum yang pernah berlaku sebelumnya di Indonesia adalah terletak pada sistem pengembangannya. Pengembangan kurikulum sebelum KTSP dilakukan secara terpusat (sentralistik), sedangkan KTSP merupakan kurikulum operasional yang dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan karakteristik dan perbedaan daerah (desentralistik).
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, dan silabus. Secara substantive, pemberlakuan kurikulum 2006 merupakan implementasi regulasi yang telah dikeluarkan yaitu PP no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar) dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter.
Dengan demikian, kurikulum 2006 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual, maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsure edukatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Sebagai kurikulum operasional di tingkat satuan pendidikan, KTSP memiliki peluang untuk dikembangkan oleh satuan pendidikan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip:
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
  2. Beragam dan terpadu.
  3. Tanggap terhadap perkembangan Iptek .
  4. Relevan dengan kebutuhan masa kini dan masa datang.
  5. Menyeluruh dan berkesinambungan
  6. Belajar sepanjang hayat
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.
Pada hakikatnya KTSP merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat. Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya.
Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006 diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua tahun.
Dalam pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri. Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh pemerintah.
Disamping masalah itu juga ada masalah lain dari kurikulum ini yaitu karena jam pelajaran dikurangi maka para guru honorer akan berkurang penghasilannya. Hal ini juga harus diperhatikan demi kesejahteraan guru dan demi kelancaran proses pengajaran.
Perbedaan mendasar yang terdapat dalam kurikulum 2006 dibandingkan kurikulum sebelumnya adalah kurikulum 2006 bersifat desentralistik artinya sekolah diberi kewenangan secara penuh untuk menyusun rencana pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan (SI dan SKL) mulai dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya. Namun, kewenangan dan kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program pendidikannya tetap harus disesuaikan dengan (1) Kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan terlibat secara aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program pendidikannya.
















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perjalanan pendidikan dan kurikulumnya sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan yang seharusnya tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang mendalam, telah menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi ketertinggalan bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan sebagai kebijakan yang bersifat instant dan tidak didasari atas pertimbangan pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus memusatkan perhatian yang serius pada pembenahan infrastruktur persekolahan yang banyak mengalami kerusakan, seperti gedung-gedung, sekolah yang telah runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian serius juga harus dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan dosen, pemberian akses kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah tentang pelapukan terhadap praktik pendidikan dan kurikulumnya, harus segera diperbaiki kembali dengan memfokuskan perhatian pada isi, visi, misi dan orientasi pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi mimpi buruk bagi bangsa kita.


3.2  Saran
Mengenai pembahasan yang telah dijabarkan oleh penulis dalam makalah ini, sebaiknya kita sebagai genarasi muda harus bisa memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia yang sudah banayk mengalami kegagalan di dalam pendidikan. Semoga dengan rencana turunnya kurikulum baru yang menggunakan pendekatan pendidikan sains yang akan dilaksanakna data berdampak baik bagi pendidikan di Indonesia serta kualitas dari para lulusan di Indonesia lebih berkualitas baik eksistensinya di bidang akademik maupun di bidang non akademik yang lebih dewasa dan mapan di dalam menghadapi era globalisasi yang terjadi di Indonesia.
















Daftar pustaka

http://isfana-tadzkirah.blogspot.com/2009/07/kelebihan-dan-kelemahan-ktsp.html
http://ridwanudin.wordpress.com/perbandingan-kurikulum/
indriatisukorini.wordpress.com/2009/03/16/indryktp08-6/
rbaryans.wordpress.com/…/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/ – 108k)
sanjaya,wina,Dr. M.Pd.Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi,Jakarta:kencana prenada media group.
Syafruddin,M.Pd,Dr,H, guru professional dan implementasi kurikulum,Jakarta: ciputat press,2002

Senin, 10 Desember 2012

kesalahan kesalahan guru dalam mengelola kelas


KESALAHAN – KESALAHAN YANG DILAKUKAN OLEH GURU DALAM PEMBELAJARAN
1.      Mengambil Jalan Pintas dalam Pembelajaran
Sebenarnya para guru manyadari bahwa persiapan memiliki peran penting dalam pembelajaran, namun masih banyak guru sering tidak membuat persiapan mengajar, khususnya persiapan tertulis. Adakalanya guru membuat persiapan mengajar tertulis hanya untuk memenuhi tuntutan administrative, atau di suruh oleh kepala sekolah karena mau ada pengawasan kesekolahnya. Mungkin anda pernah mendengar ucapan kepala sekolah yang menyerukan agar guru – guru membuat persiapan mengajar karena mau ada pengawas, atau ada penilaian di sekolahnya. Sungguh suatu kekeliruan besar, Karena persiapan mengajar  adalah suatu persiapan yang harus dibuat guru untuk melakukan pembelajaran, bukan untuk disuguhkan  kepada pengawas.
2.      Menunggu Peserta Didik Berperilaku Negatif
Dalam pembelajaran dikelas, guru berhadapan dengan sejumlah peserta didik yang semuanya ingin diperhatikan. Peserta didik akan berkembangan secara optimal melalui perhatian guru yang positif, sebaliknya perhatian yang negative akan menghambat perkembangan pserta didik. Mereka senang jika mendapat pujian dari guru, dan merasa kecewa jika kurang diperhatikan atau diabaikan. Namun sayang kebanyakan guru, terperangkap dengan pemahaman yang keliru tentang mengajar, mereka menganggap mengajar adalah menyampaikan matrei kepada peserta didik, mereka juga menganggap mengajar adalah memberikan sejumlah pengetahuan kepada peserta didik.
3.      Merasa Paling Pandai
Kesalahan lain yang sering dilakukan oleh guru adalah merasa paling pandai di kelasnya. Kesalahan ini berangkat dari kondisi bahwa pada umumnya para peserta didik di sekolah usianya relative lebih muda dari gurunya, sehingga guru merasa bahwa peserta didik tersebut lebih bodoh dibanding dirinya, peserta didik dipandang sebagai gelas yang perlu diisi air didalamnya. Dengan demikian, dalam hal tertentu mungkin saja peserta didik yang belajar lebih pandai dari gurunya. Jika ini benar terjadi, maka guru harus demokratis untuk bersedia belajar kembali, bahkan belajar dari peserta didik sekalipun, atau saling membelajarkan.

4.      Tidak Adil ( Diskriminatif )
Pembelajaran yang baik dan efektif adalah yang mampu memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara adil dan merata ( tidak diskriminatif ), sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Keadilan dalam pembelajaran merupakan kewajiban guru dalam pembelajaran, dan hak peserta didik untuk memperolehnya. Dalam prakteknya banyak guru yang tidak adil, sehingga merugikan perkembangan peserta didik, dan ini merupakan kesalahan yang sering dilakukan guru, terutama dalam penilaian. Penilaian merupakan upaya untuk memberikan penghargaan kepada peserta didik sesuai dengan yang dilakukannyaselama proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam memberikan penilaian harus dilakukan secara adil , dan benar – benra merupakan cermin dari perilaku peserta didik. Namun demikian, dalam pelaksanaanya tidak sedikit guru yang menyalahkan penilian, misalnya sebagai ajang untuk membalas dendam,sebagai ajang untuk menyalurkan kasih sayang di luar tanggung jawabnya sebagai guru.
( sumber : Dr.E.Mulyasa,M.Pd.Menjadi Guru Profesional.2008.Bandung:PT.Remaja RosdaKarya )